Opini  

Inklusivisme dalam Fiqh Peradaban: Perspektif Perempuan dalam Islam

Ika Nur Fitriani
download 12
ilustrasi oleh pinterest

Fiqh peradaban menjadi konsep penting dalam menghadapi tantangan di era globalisasi seperti saat ini, terutama terkait isu inklusivisme. Inklusivisme dalam konteks ini mengacu pada penerimaan dan pengintegrasian berbagai kelompok sosial dan identitas tanpa diskriminasi, termasuk peran dan hak perempuan. Dalam sejarah Islam, interpretasi terhadap hukum syariah seringkali mempengaruhi bagaimana perempuan diposisikan dalam masyarakat, terutama dalam aspek hukum keluarga, partisipasi politik, hingga peran ekonomi. Fiqh peradaban, sebagai konsep yang terus berkembang dalam Nahdlatul Ulama (NU), menawarkan pendekatan baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial tersebut.

Fiqh Peradaban dan Kebutuhan untuk Pendekatan Baru

Fiqh peradaban sendiri muncul sebagai respon terhadap tantangan modern yang memerlukan penyesuaian hukum Islam dengan kondisi sosial-politik yang berkembang. Gagasan ini diperkenalkan dalam Halaqah Fiqih Peradaban yang diinisiasi oleh NU, dengan tujuan menegaskan pentingnya fiqh yang adaptif terhadap zaman dan mampu memberikan solusi terhadap isu-isu modern. KH Afifudin Muhajir, Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelaskan bahwa fiqh peradaban tidak hanya berkaitan dengan adab, tetapi dengan hadharah (peradaban), yang menekankan bagaimana Islam dapat berkontribusi dalam membangun peradaban yang inklusif dan adil.

Konsep ini juga dipandang sebagai solusi untuk menanggulangi isu-isu seperti Islamofobia dan radikalisme, yang sering kali timbul akibat pemahaman Islam yang sempit dan eksklusif. Dalam konferensi di Azerbaijan, Nyai Iffah Ismail, seorang delegasi dari PBNU, menekankan bahwa inklusivisme yang ditawarkan oleh fiqh peradaban mampu memperbaiki persepsi tentang Islam, sekaligus memastikan bahwa perempuan juga mendapat hak-haknya dalam kerangka syariah yang lebih modern dan humanis.

Posisi Perempuan dalam Fiqh Klasik

Dalam sejarahnya, perempuan dalam Islam sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat, terutama dalam fiqh klasik. Sebagai contoh, dalam hukum waris, perempuan menerima setengah dari bagian laki-laki. Di beberapa negara Muslim, perempuan juga mengalami keterbatasan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi dalam ruang publik. Kendati demikian, ada pula banyak teks keislaman yang menegaskan pentingnya penghormatan terhadap perempuan, baik sebagai ibu, istri, maupun anggota masyarakat. Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya memberikan hak kepada perempuan, bahkan di tengah tradisi masyarakat Arab yang patriarkis saat itu.

Namun, banyak ulama tradisional masih menggunakan tafsir fiqh yang cenderung kaku dan membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya, dalam beberapa pandangan fiqh, partisipasi perempuan dalam politik dianggap tidak sesuai dengan norma-norma Islam. Ketika perempuan memegang jabatan publik, mereka sering kali dianggap melanggar batas-batas peran gender yang telah ditetapkan. Hal ini menyebabkan pengucilan perempuan dari ruang-ruang publik, yang berimplikasi pada kurangnya representasi mereka dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga :  Potret Navigator Perempuan dalam menggerakkan perempuan di Jawa Timur

Reformasi Melalui Fiqh Peradaban

Fiqh peradaban hadir sebagai upaya mereformasi tafsir terhadap hukum Islam agar lebih sesuai dengan nilai-nilai modernitas dan hak asasi manusia. NU telah berperan besar dalam mendorong reformasi ini melalui program-program diskusi dan pendidikan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Halaqah Fiqh Peradaban yang mengundang para ulama, cendekiawan, dan aktivis untuk membahas tantangan modern yang dihadapi oleh umat Islam, termasuk kesetaraan gender.

Dalam forum ini, salah satu hal yang sering dibahas adalah pentingnya perempuan untuk memiliki akses yang setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, dan politik. Hal ini didasarkan pada prinsip keadilan dalam Islam yang menekankan hak-hak setiap individu, terlepas dari jenis kelamin, ras, atau status sosial. Dalam perspektif ini, fiqh tidak boleh hanya dipahami secara tekstual, tetapi harus kontekstual, yaitu disesuaikan dengan kondisi zaman yang terus berubah.

Perempuan dan Pendidikan dalam Islam

Salah satu poin kunci dalam pembahasan fiqh peradaban adalah pendidikan perempuan. Islam sejatinya mendorong setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” Dalam konteks ini, fiqh peradaban menekankan bahwa akses perempuan terhadap pendidikan harus dijamin, tidak hanya dalam hal pendidikan agama tetapi juga dalam bidang-bidang lain seperti sains, teknologi, dan humaniora. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat.

Di Indonesia, organisasi seperti Muslimat NU, Fatayat NU dan IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama) telah mengambil peran penting dalam mempromosikan pendidikan bagi perempuan. Fatayat NU, misalnya, telah lama berkampanye untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan, serta memberdayakan perempuan di sektor ekonomi melalui berbagai program pelatihan​. Program-program ini sejalan dengan prinsip fiqh peradaban yang inklusif, di mana perempuan dianggap sebagai bagian penting dalam pembangunan masyarakat.

Baca Juga :  Fenomena Pernikahan Dini: Tinjauan Hadis dalam Perspektif Psikologi

Tantangan dalam Implementasi Fiqh Peradaban

Meskipun konsep fiqh peradaban menawarkan solusi yang inklusif, penerapannya tidaklah mudah. Banyak masyarakat Muslim yang masih terikat oleh pandangan-pandangan fiqh tradisional yang patriarkal. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap upaya reformasi yang diusung oleh NU dan organisasi-organisasi sejenis. Selain itu, dalam konteks global, Islamofobia dan stereotip negatif tentang Islam juga menjadi tantangan tersendiri. Ketika Islam dipandang sebagai agama yang menindas perempuan, upaya untuk mempromosikan fiqh yang inklusif menjadi lebih sulit diterima.

Namun, di sinilah pentingnya pendekatan dialogis yang diusung oleh fiqh peradaban. Ulama dan cendekiawan Muslim harus terus berdialog dengan masyarakat luas, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk memperbaiki pemahaman tentang Islam yang sebenarnya mengedepankan keadilan dan kesetaraan. Dalam hal ini, peran perempuan juga sangat penting, baik sebagai pemimpin maupun sebagai agen perubahan di komunitas mereka.

Masa Depan Inklusivisme dalam Islam

Melihat perkembangan fiqh peradaban, masa depan inklusivisme dalam Islam terlihat cerah. Perempuan kini memiliki lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Di Indonesia, misalnya, perempuan telah menduduki posisi-posisi penting, baik di pemerintahan, organisasi masyarakat, maupun sektor swasta. Hal ini menunjukkan bahwa fiqh yang inklusif dan responsif terhadap zaman dapat mendukung kemajuan perempuan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip syariah.

Fiqh peradaban juga memberikan peluang untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan dapat berperan aktif dalam pembangunan. Di sini, peran pendidikan sangat penting. Ketika perempuan dididik dengan baik, mereka akan mampu mengembangkan potensi mereka dan berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat. Ini sejalan dengan tujuan Islam yang menekankan pentingnya menuntut ilmu dan beramal saleh bagi seluruh umat manusia.

Kesimpulan

Fiqh peradaban merupakan upaya untuk mereformasi pemahaman fiqh agar lebih inklusif dan responsif terhadap tantangan zaman, terutama terkait dengan hak-hak perempuan. Melalui pendekatan ini, NU bersama badan otonomnya telah memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Meskipun masih menghadapi berbagai tantangan, konsep inklusivisme yang diusung oleh fiqh peradaban menjadi harapan bagi masa depan, di mana perempuan dapat berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam.