Mamaknai dan Menerapkan Sabar secara Proporsional

M. Rizal Zunianto
Mamaknai dan Menerapkan Sabar secara Proporsional

Di antara sifat yang paling mulia dan utama adalah sabar. Keutamaan sifat ini banyak disebutkan dalam Al-Quran, hadits, dan penjelasan para ulama. Menurut Al-Ghazali, setidaknya ada sekitar tujuh puluh lebih keterangan Al-Quran terkait sifat keutamaan sabar, anjuran sabar, dan ganjaran yang akan diperoleh orang yang senantiasa menjaga kesabaran.

Demikian mulianya tabiat ini, tak heran bila kesabaran selalu diidentikkan dengan keimanan. Seperti yang dikatakan Sahabat Ali bin Abi Thalib RA: Ketahuilah bahwa kaitan antara kesabaran dan keimanan adalah ibarat kepala dan tubuh. Jika kepala manusia sudah tidak ada, secara langsung tubuhnya juga tidak akan berfungsi. Demikian pula dengan kesabaran. Apabila kesabaran sudah hilang, keimanan pun akan hilang.

Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa kesabaran memiliki berbagai macam hukum. Tidak semua bentuk kesabaran yang dianggap baik dan mulia. Ada beberapa bentuk kesabaran yang malah dinilai tidak baik dan kurang tepat. Kesabaran pun sebenarnya harus tahu tempatnya supaya tidak terjebak pada kesabaran yang diharamkan.

Al-Ghazali mengatakan sebagai berikut: Sabar dapat dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan hukumnya: sabar wajib, sunah, makruh, dan haram. Sabar dalam menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang syariat adalah wajib. Sementara menahan diri dari yang makruh merupakan sabar sunah. Sedangkan menahan diri dari sesuatu yang dapat membahayakan merupakan terlarang (haram) seperti menahan diri ketika disakiti. Misalnya orang yang dipotong tangannya, atau tangan anaknya sementara ia hanya berdiam saja. contoh lainnya, sabar ketika melihat istrinya diganggu orang lain sehingga membangkitkan cemburunya tetapi ia memilih tidak menampakkan rasa cemburunya. Begitu juga orang yang diam saat orang lain mengganggu keluarganya. Semua itu sabar yang diharamkan.

Baca Juga :  Berikut Alasan Mengapa Hari Jumat sebagai Hari Istimewa

Keterangan ini menunjukan bahwa dalam sabar ada tempatnya sendiri. Justru ketika ia bersabar malah terjebak dalam kesalahan dan keharaman. Seperti yang dicontohkan di atas, ketika melihat orang yang tertimpa musibah, maka sebaiknya kita langsung menolong orang tersebut, apalagi bila korbannya berada dalam kondisi darurat. Begitu pula ketika seorang istri yang diganggu orang lain. Sabar dalam kondisi ini termasuk sabar yang diharamkan berdasarkan penjelasan Al-Ghazali. Wallahu alam.