Belakangan ini dunia pendidikan dihebohkan dengan banyaknya kasus- kasus cabul yang terkuak, dengan korban siswi hingga siswa sekolah dasar. Ironisnya, insiden rasa malu dan takut sering dilaporkan sebagai akibat dari ejekan publik. Orang sering menyalahkan korban, yang dianggap tidak mampu mengurus diri sendiri atau memicu kesalahan. Biarkan korban memilih untuk diam atau berdamai dengan pelaku daripada menerima ejekan dari masyarakat. Merasa itu tindakan mereka tidak dihukum sering membuat pelaku tergantung. Selain perempuan, anak-anak juga sering menjadi korban pelecehan seksual.
Pengganggu memanfaatkan sifat rentan anak-anak untuk menutupi tindakan mereka. Ini adalah dampak dari budaya yang salah dan pandangan yang salah dalam masyarakat. Perempuan diajarkan dan diminta untuk menjaga diri mereka sendiri, tetapi mereka tidak diajarkan untuk membela hak-hak mereka dan mencari keadilan. Anak-anak ketakutan ketika tidak bisa melakukan sesuatu, yang pada akhirnya menghancurkan keberanian kreatif mereka, bahkan mereka sendiri takut akan segalanya. Pelakunya yang harus dihukum, bukan korbannya.
Bentuk Pelecehan Seksual
Masyarakat masih menganggap seks sebatas tindakan seperti berpelukan atau menyentuh. Akibatnya, banyak korban yang salah memilih untuk melapor secara lisan karena mereka sendiri tidak sadar bahwa yang mereka alami adalah pelecehan. Semua orang juga diam dan menganggapnya sebagai lelucon. Menurut Winarsunu (2008), tindakan seksual adalah semua jenis tindakan yang melibatkan korban yang dilakukan secara sepihak dan tanpa melakukan tindakan seksual . Bentuk seks tidak hanya berupa perilaku seperti berpelukan atau meraba-raba. Berbicara, menulis,melihat dan menandatangani dengan konotasi seksual, unsur kompulsif terhadap pelaku, peristiwa yang tidak diinginkan korban dan menyebabkan penderitaan bagi korban juga merupakan bentuk pelecehan seksual.
Menurut Mayer dkk. Secara umum, ada dua aspek penting dalam lingkungan seksual, yaitu aspek perilaku dan aspek situasional. Aspek perilaku seksual yang berupa bujukan atau ajakan seksual tanpa terlihat oleh penerima, yang dapat berupa bujukan sepihak yang kasar,di depan umum, fisik, atau verbal. Misalnya, undangan rapat tetap ada meskipun ditolak, ekspresi seksis terkait pakaian atau tubuh, dll. Aspek situasional dari niat seksual dapat terjadi di mana saja dan dalam kondisi tertentu. Perkembangan teknologi juga berperan dalam memfasilitasi permainan seksual. Akses internet yang mudah memungkinkan siapa saja untuk bebas mengakses apa saja, termasuk pornografi. Ini mendorong orang yang tidak memiliki ruang untuk memuaskan keinginan mereka dengan tindakan seksual. Ketika ditanya tentang motif mereka, pelaku sering merespon dengan meniru video internet. Ada juga ketertarikan seksual yang dimulai dari media sosial, dimulai dari perkenalan, kemudian berlanjut ke pertemuan-pertemuan yang akhirnya terjadi dalam hubungan seksual.
Akibat seksual terhadap korban
Korban seks tidak hanya akan menderita kerugian fisik, tetapi juga luka yang sangat dalam, bahkan depresi. Dampak sosial juga akan terasa seperti korban, kehilangan kehidupan pribadi karena kehilangan, menjadi bahan pembicaraan, merusak kepribadian atau reputasi, kehilangan kepercayaan pada anak, orang dan lingkungan, stres eksternal dalam hubungan dengan pasangan, dan sebagainya. Sistem yang bertujuan untuk membantu dan melindungi sebenarnya dapat menempatkan korban dalam posisi yang lebih rentan terhadap kerentanan seksual. Pada dasarnya, kekerasan seksual hanya dapat diselesaikan dengan kebijakan dan hukum. Namun, kita harus mulai dengan mengubah paradigma masyarakat di mata korban seksual.
Perlakukan korban seks sebagai seseorang yang membutuhkan perlindungan dan yang berhak mendapatkan keadilan atas apa yang telah dia alami. Pada saat yang sama, dukung dan motivasi korban untuk bangkit dan mengatasi patah hati. Kontrol orang tua juga diperlukan untuk membatasi cara anda melihat, bersosialisasi ,dan menggunakan media sosial dan internet. Orang tua juga mendidik tentang seks sejak dini, misalnya dengan mengajarkan batasan -batasan yang bisa dijangkau orang lain. Yang terpenting adalah menanamkan pada anak keberanian untuk terbuka terhadap apa pun yang terjadi, sehingga mereka dapat menghindari segala kemungkinan seks.